MATI satu tumbuh seribu. Ini ungkapan yang pas untuk menggambarkan kesuburan Indonesia sebagai ladang terorisme. Kaum yang berideologi kekerasan itu bertumbuh dan menyebar dalam derajat yang mencengangkan.Sudah puluhah bahkan ratusan teroris yang ditangkap dan terbunuh. Tetapi muncul puluhan bahkan ratusan teroris baru dengan keahlian yang menakjubkan dan keberanian yang menakutkan. Mereka membangun sel-sel yang berserakan di Indonesia, terutama di pulau Jawa dan Sumatera.
Mereka bermetamorfosa dari teror bom menjadi teror bersenjata. Karena bom tidak bisa menyeleksi korban, maka perjuangan melalui kelompok bersenjata korban bisa ditentukan secara lebih akurat.Bom ternyata telah menimbulkan antipati di mata publik. Para teroris rupanya paham bahwa sentimen publik adalah komponen penting bagi habitat yang menyuburkan eksistensi terorisme.Polisi baru saja menangkap belasan tersangka teroris di Medan. Penangkapan itu menyusul penangkapan yang juga masal di Aceh karena terbongkar kegiatan mereka menjadikan Aceh sebagai markas baru terorisme dengan Dulmatin-yang ditembak mati-sebagai otaknya.
Tetapi publik dikejutkan oleh penyerangan terhadap pos polisi di Hamparan Perak, Deli Sedang, Sumatera Utara, Rabu malam oleh sekitar 15 orang bersenjata yang terlatih. Serangan yang menewaskan tiga anggota polisi itu terjadi hanya tiga hari setelah polisi menangkap belasan teroris di kawasan itu. Serangan itu dilakukan teroris yang sakit hati karena polisi telah menangkap dan menembak mati kawanan teroris.Pertanyaan paling penting adalah, mengapa teroris beranak pinak dalam derajat yang mencengangkan di Indonesia. Jawabnya, karena Indonesia telah menjadi habitat yang menyuburkan ideologi perjuangan mereka.Banyak faktor bisa disebut tentang kesuburan habitat ini. Pertama adalah sistem hukum yang lembek bahkan cenderung jelak. Seorang Abu Tholut yang kini dicap sebagai teroris berbahaya adalah orang yang pernah dihukum penjara 8,5 tahun karena kasus terorisme. Tetapi dia hanya menjalani hukuman 4,5 tahun lalu bebas karena memperoleh remisi. Sistem hukum kita tidak membedakan lagi hukuman untuk seorang maling ayam dengan seorang teroris dan koruptor.Kedua, pengawasan terhadap senjata dan bahan peledak yang amat jelek. Kelompok sipil bisa dengan mudah menguasai senjata serbu seperti AK-47 dan M-16 yang sesungguhnya hanya dimiliki tentara dan polisi.Ketiga, intelijen yang buruk. Padahal kita tahu polisi, tentara, kejaksaan, memiliki badan-badan intelijen. Apa yang salah dengan intelijen?
Keempat, negara membiarkan organisasi-organisasi radikal tumbuh subur. Bahkan orang-orang yang memiliki pikiran bahwa negara ini kafir dan karena itu harus diperangi dibiarkan berorganisasi dan secara terang-terangan mengkampanyekan di depan publik tentang ideologi yang berbeda.Penyerangan kelompok bersenjata yang menewaskan tiga polisi di Hamparan Perak, Deli Serdang, adalah alarm yang sangat keras bahwa negara ini dalam bahaya serius. Mungkin harus dipikirkan penerapan undang-undang semacam ISA--Internal Security Act--seperti di Malaysia dan Singapura.
Mereka bermetamorfosa dari teror bom menjadi teror bersenjata. Karena bom tidak bisa menyeleksi korban, maka perjuangan melalui kelompok bersenjata korban bisa ditentukan secara lebih akurat.Bom ternyata telah menimbulkan antipati di mata publik. Para teroris rupanya paham bahwa sentimen publik adalah komponen penting bagi habitat yang menyuburkan eksistensi terorisme.Polisi baru saja menangkap belasan tersangka teroris di Medan. Penangkapan itu menyusul penangkapan yang juga masal di Aceh karena terbongkar kegiatan mereka menjadikan Aceh sebagai markas baru terorisme dengan Dulmatin-yang ditembak mati-sebagai otaknya.
Tetapi publik dikejutkan oleh penyerangan terhadap pos polisi di Hamparan Perak, Deli Sedang, Sumatera Utara, Rabu malam oleh sekitar 15 orang bersenjata yang terlatih. Serangan yang menewaskan tiga anggota polisi itu terjadi hanya tiga hari setelah polisi menangkap belasan teroris di kawasan itu. Serangan itu dilakukan teroris yang sakit hati karena polisi telah menangkap dan menembak mati kawanan teroris.Pertanyaan paling penting adalah, mengapa teroris beranak pinak dalam derajat yang mencengangkan di Indonesia. Jawabnya, karena Indonesia telah menjadi habitat yang menyuburkan ideologi perjuangan mereka.Banyak faktor bisa disebut tentang kesuburan habitat ini. Pertama adalah sistem hukum yang lembek bahkan cenderung jelak. Seorang Abu Tholut yang kini dicap sebagai teroris berbahaya adalah orang yang pernah dihukum penjara 8,5 tahun karena kasus terorisme. Tetapi dia hanya menjalani hukuman 4,5 tahun lalu bebas karena memperoleh remisi. Sistem hukum kita tidak membedakan lagi hukuman untuk seorang maling ayam dengan seorang teroris dan koruptor.Kedua, pengawasan terhadap senjata dan bahan peledak yang amat jelek. Kelompok sipil bisa dengan mudah menguasai senjata serbu seperti AK-47 dan M-16 yang sesungguhnya hanya dimiliki tentara dan polisi.Ketiga, intelijen yang buruk. Padahal kita tahu polisi, tentara, kejaksaan, memiliki badan-badan intelijen. Apa yang salah dengan intelijen?
Keempat, negara membiarkan organisasi-organisasi radikal tumbuh subur. Bahkan orang-orang yang memiliki pikiran bahwa negara ini kafir dan karena itu harus diperangi dibiarkan berorganisasi dan secara terang-terangan mengkampanyekan di depan publik tentang ideologi yang berbeda.Penyerangan kelompok bersenjata yang menewaskan tiga polisi di Hamparan Perak, Deli Serdang, adalah alarm yang sangat keras bahwa negara ini dalam bahaya serius. Mungkin harus dipikirkan penerapan undang-undang semacam ISA--Internal Security Act--seperti di Malaysia dan Singapura.
No comments:
Post a Comment